Kamis, 13 Oktober 2011

Prinsip WTO dan Perspektif Perdagangan Indonesia di Mata Dunia


Ketika membicarakan mengenai perekonomian dunia maka akan sangat penting ketika kita mengetahui hal yang sangat penting dan primer dari perekonomian itu sendiri. Perdangan merupakan sebuah kegiatan ekonomi yang sangat berpengaruh terhadap perekonomian masyarakat dunia. hal ini tentulah hal yang tidak perlu diperdebatkan lagi jika mengatakan bahwa kegiatan ini merupakan hal yang sangat penting. jika kita membicarakan mengenai perdagana dunia maka kita tidak boleh lepas membicarakan mengenai Organisasi Perdangan Dunia atau yang lebih dikenal dengan WTO atau World Trade Organization. WTO dibentuk pada tanggal 15 April 1994 di Marakesh, Maroko setelah prundingan panjang mengenai perdagangan dunia yang disebut Putaran Uruguay yang berikutnya dituangkan dalam Marakesh Agreement on Establising World Trade Organizatio. Saat ini Organisasi Perdagagan ini beranggotakan 153 Negara hingga 23 Juli 2008 yang mana selain negara terdapat beberapa wilayah otoritas khusus seperti Taiwan, Hongkong dan Macau.

Salah satu hal yang penting dari WTO itu sendiri adalah prinsip-prinsip yang terdapat dalam organisasi perdagangan ini. Setidaknya terdapat lima prinsip utama dalam WTO yang kesemuanya wajib dipatuhi oleh setiap anggota dan bersifat mengikat secara hukum serta setiap keputusan yang dihasilkan WTO bersifat irreversible atau tidak dapat ditarik lagi. selain sifat dari kenggotaan dari WTO dalam pengambilan keputusannya yang yang bersifat irreversible terdapat sebuah keunikan sekaligus sebagai sebuah penegasan kepada anggota ketika masuk dalam lingkaran dari Oraganisasi Perdangan dunia ini adalah sifatnya keanggotaanya yang bersifat Single Under Taking yang artinya bahwa negara-negara yang menjadi anggota dari organisasi ini harus menerima seluruh ketentuan yang ditetepkan oleh organisasi ini. Adapun kelima prinsip itu ialah :

a. MFN (Most-Favoured Nation) adalah Perlakuan yang sama terhadap semua mitra dagang. Dengan berdasarkan prinsip MFN, negara-negara anggota tidak dapat begitu saja mendiskriminasikan mitra-mitra dagangnya. Keinginan tarif impor yang diberikan pada produk suatu negara harus diberikan pula kepada produk impor dari mitra dagang negara anggota lainnya.

b. Perlakuan Nasional (National Treatment)

Negara anggota diwajibkan untuk memberikan perlakuan sama atas barang-barang impor dan lokal- paling tidak setelah barang impor memasuki pasar domestik.

c. The National Treatment Obligation

Maksud dari prinsip ini ialah menurut GATT Artikel III, negara anggota dilarang mengenakan diskriminasi tarif pajak di dalam negeri atau membuat kebijakan lain yang dapat menyebabkan manfaat yang diperoleh dari penurunan tarif menjadi tidak berguna. Dengan kata lain produk impor -setelah masuk pasar domestik- dan produk domesik yang sejenis harus mendapatkan perlakuan yang sama. Hal yang sama juga berlaku bagi sektor jasa dan hak atas kekayaan intelektual.

d. Penghapusan Kuota

Prinsip keempat yakni penghapusan kuota, maksudnya adalah mengurangi hambatan kuota atas ekspor-impor, termasuk persyaratan ijin impor dan ekspor serta kebijakan lain yang mengatur keluar masuknya barang dari dan ke luar wilayah suatu negara. Prinsip ini bertujuan untuk mencegah kurangnya transparansi dalam pengaturan bea masuk dan distorsi harga yang disebabkan tidak berlakunya hukum penawaran dan permintaan.

Dalam prinsip keempat ini ada beberapa pengecualian yakni :

1) Jika suatu negara sedang menjalankan program stabilisasi pasar terkait produk pertanian;

2) Neraca Pembayaran atau negara sedang berupaya mencegah atau mengatasi semakin berkurangnya cadangan devisa jika cadangan yang tercatat dianggap terlalu rendah;

3) Dalam rangka Alokasi Kuota, maksudnya besarnya kuota impor atau ekspor ditentukan berdasarkan peranan negara pengekspor dalam perdagangan dengan negara pengimpor tersebut apabila kuota tidak ditetapkan).

e. Transparansi (Transparency)

Negara anggota diwajibkan untuk bersikap terbuka/transparan terhadap berbagai kebijakan perdagangannya sehingga memudahkan para pelaku usaha untuk melakukan kegiatan perdagangan.

WTO menyadari kenyataan bahwa pemerintah memiliki perbedaan dalam tingkat pembangunan dan ketersediaan sumberdayanya. Oleh karena itu WTO juga memasukkan klausul perlakuan khusus dan berbeda ( Special and Differential Treatment ). Ini berarti negara kaya akan membayar lebih banyak, atau mendapatkan pemotongan lebih besar atau mempunyai waktu penerapan lebih pendek dalam hal pengurangan tarif. Sementara itu negara miskin, rentan dan negara berkembang akan dipertimbangkan untuk mendapatkan pemotongan lebih rendah dan implementasi lebih lama dalam pengurangan tarif perdagangan. Pada dasarnya yang tergolong dalam negara miskin disini adalah negara-negara berkembang atau Development Country dan Least Development Country. jika berbicara mengenai negara berkembang maka Indonesia merupakan salah satu negara yang masuk kedalam penggolongan negara tersebut. dan hal yang pelu disayangkan jika Indonesia sebagai sebuah negara berkembang tidak memenfaatkan prinsip dalam khusus dalam WTO tersebut dengan adaanya alasan bahwa terikat dalam sebuah perjanjian. Selain itu terlihat sikap yang over confidence dari Indonesia yang secara nyata belum dapat bersaing dalam sebuah kerangka pasar bebas sebab dengan begitu Indonesia sendiri mematikan industri dalam negeri khususnya industri yang masih dikategorikan sebagai industri kecil dan industri rumah tangga.